Penulis :
Gandring A.S.
Untuk orang-orang yang telah bergelut dalam dunia aktivisme
pasti sudah sering melihat betapa banyak jiwa-jiwa yang dulu penuh dengan
kobaran api semangat pergerakan tetapi ketika menapaki gerbang pernikahan
perlahan tapi pasti kontribusinya di dunia aktivisme mulai meredup bahkan
hingga padam. Tidak menutup kenyataan bahwa hal ini juga sering terjadi kepada
mereka sang aktivis dakwah.
Mulai dari kesibukan mencari pundi-pundi materi untuk
menafkahi keluarga, permasalahan-permasalahan internal keluarga, tidak adanya
waktu luang dan sebagainya selalu menjadi alasan. Alasan-alasan klasik ini
sering kita dengar dari kalangan-kalangan aktivis yang sudah menikah. Baik
ketika diminta menjadi pemateri dalam agenda kajian organisasi, atau menjadi
musyrif dalam agenda bermalam bahkan ketika hanya diminta untuk sekedar sharing dan
transfer ide-ide untuk keberlangsungan organisasi.
Padahal seharusnya menikah itu menguatkan perjuangan
dakwah, karena cinta itu seyogyanya menggerakkan bukan melumpuhkan. Begitulah
setidaknya Ust Cahyadi Takariawan di kalimat pengantar buku ini mengatakan
bagaimana seharusnya cinta itu diolah oleh seorang aktivis.
Permintaanku wahai kekasih
Selalu bersama-sama
Di ruang dan waktu
Tak berjarak meski Cuma sehelai rambut
Kalau jauuh dekat di hati
Kalau dekat berpandangan
Begitu sejatinya asmara
Seperti mimi dan mintuno
Ayo bersama melakukan sosial
Sebuah puisi dari Sujiwo Tejo menjadi pembuka pada bagian
pertama dalam buku ini. Pada bagian ini penulis banyak membahas tentang Cinta.
Bagaimana rasa cinta kita terhadap keluarga membuat kita semakin memperkuat
semangat juang kita, kehadiran mereka menjadi katalisator dalam roda perjuangan
kita bukan justru menjadi penghambat bahkan menjadi penghalang.
Ternyata rasa Cinta juga yang mengakibatkan banyak aktivis
dakwah mulai berguguran di jalan dakwahnya setelah menikah. Karena mereka salah
menafsirkan cinta.
Di setiap bagian pembahasan Mas Gandring selalu menyelipkan
tokoh-tokoh yang dijadikan sebagai role modelnya. Mulai dari
tokoh-tokoh fiksi seperti Don Corleone, hingga tokoh-tokoh pergerakan nasional
dan pergerakan dakwah Islam seperti Soekarno, Hasan Al Banna hingga Kartini. Di
bagian ini beliau mengambil kisah Bung Karno dan Bu Inggit sebagai role
model, Rumah tangga mereka adalah rumah pergerakan, cinta mereka tidak
hanya dirasakan oleh mereka berdua saja, tetapi justru dirasakan oleh para
aktivis saat itu. Para pemuda saat itu sangat senang menghabiskan waktu mereka
di rumah Bung Karno untuk berdiskusi. Rumah produktif ini lah buah dari cinta inklusif
mereka.
Pertanyaan-pertanyaan saya dahulu tentang alasan mengapa
banyak aktivis menghilang setelah menikah perlahan tapi pasti mulai terjawab
ketika membaca bagian pertama buku ini, siapa yang menyangka ternyata ‘bibit’
kehilangan aktivis itu bisa terbenih bahkan sebelum kita mengucap ijab qabul.
Mengapa? Mas Gandring menjelaskan jawabannya dengan jelas di bagian pertama
sehingga ketika membaca bab ini saya terlalu sering mengucapkan kalimat ‘iya
juga yah’.
Di bagian kedua dari buku ini, mas Gandring memulainya
dengan sepotong ayat Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 55. Yang tentu lekat dengan
pembahasan ujian kehidupan. Seperti diawal yang saya katakan, salah satu alasan
klasik para aktivis yang mulai redup dalam jalan perjuangannya dikarenakan
masalah finansial. Mereka kini terlalu fokus untuk memapankan kondisi
perekonomian mereka daripada ikut berkontribusi menjadi roda-roda penggerak
peradaban.
Amal-amal di jalan dakwah inilah yang akan menolong kita di
hari akhir kelak. Fadhilah-fahilah ini begitu menyemangati kita masa kampus
dulu, barangkali paradigma kita saat itu masihlah paradigma waktu adalah
pedang. Tapi hari ini, ketika kesibukan kerja dan membersamai keluarga membuat
kita lalai dari kewajiban berdakwah kita, jangan-jangan paradigma kita hari ini
sudah berubah menjadi time is money? Kalimat
tersebut adalah kalimat paling ‘menampar’ yang saya temukan dalam bagian kedua
dari buku ini.
Lagi-lagi disini Mas Gandring menjawab mitos ‘aktivis
mapan’ itu dengan kisah salah seorang tokoh perjuangan kemerdekaan yaitu Haji
Agus Salim. Meskipun beliau adalah seorang tokoh besar, ternyata beliau hanya
tinggal di sebuah rumah kontrakan dan selalu berpindah-pindah. Tetapi rumah
beliau selalu menjadi tempat untuk para pemuda berdiskusi dan menjadikkannya
tempat sharing dan belajar. Bisakah kita belajar dari beliau yang lebih sibuk
menghidupkan rumah kontrakannya dengan kerja-kerja peradaban dari pada sibuk
mengumpulkan uang untuk membayar uang membayar cicilan kredit rumah?
Di bagian ini mas Gandring juga menawarkan beberapa
pekerjaan strategis yang dapat menjadi kobaran api semangat aktivisme dan
berpeluang untuk mensupport kerja gerakan. Selain itu, bagian ini juga membahas
bagaimana daya mobilitas kader dan keuangan juga menjadi alasan krusial kader
dalam keberlangsungan dakwah gerakan.
Pada bagian ketiga ini menurut saya mas Gandring
mengelompokkan pembahasan ‘ujian’ dari pihak eksternal ketika menghilangnya
seorang aktivis setelah menikah, setelah di bagian sebelumnya membahas ujian
dari internal aktivis itu sendiri yaitu cinta dan ketidakmapanan finansial dan
mobilitas diri seorang aktivis. Ada banyak stigma miring terhadap
aktivis, mulai dari nilai akademik yang anjlok, wisuda yang tidak
tepat waktu, hingga tidak adanya restu dari orang tua atau keluarga untuk
mengikuti agenda-agenda gerakan. Alasan-alasan tersebut dijelaskan oleh mas
Gandring dengan sangat jelas, tetapi bukan hanya sekedar penjelasan alasan
saja. Di buku ini mas Gandring juga memberikan solusi-solusi untuk memecahkan
masalah tersebut.
Bagian keempat ini menurut saya adalah bagian yang paling
istimewa, karena pada bagian ini membahas tentang kerja peradaban bagi seorang
wanita. Seperti yang kita ketahui, ruang gerak seorang wanita akan terasa
semakin sempit dan terbatas ketika mereka sudah menikah. Mulai dari dikarenakan mengurus
suami, keperluan dapur, membersihkan rumah dan merawat anak-anak mereka.
Mas Gandring memilih Kartini untuk menjadi role model dalam
pembahasan ini, padahal menurut saya alangkah lebih bagus jika Ustadzah Yoyoh
Yusroh dijadikan role model dalam pembahasan aktivis wanita dalam
pergerakan di buku ini.
Menjadi seorang wanita yang sudah menikah bukan berarti tidak
bisa ikut berjuang dalam pembangunan peradaban. Seperti yang kita tahu, Ibu
adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Di tangannyalah tempahan seorang
pahlawan peradaban itu berada. Wanita tidak harus menjadi frontliner dalam
perjuangan, ia bahkan lebih sering berada dibalik layar kemenangan perjuangan
itu. Perjuangan dakwah itu tak boleh berhenti, yang boleh hanyalah perpindahan
dimensi dakwah.
Di bagian terakhir buku ini, Mas Gandring membahas
bagaimana sebuah memori perjuangan dahulu dapat mengembalikan kerinduan dan
kobaran semangat untuk berjuang kembali di jalan perjuangan. Untuk mereka yang
tidak futur di jalan dakwah ini, doakanlah saudara-saudaramu diluar sana yang
mungkin dengan doamu insyaAllah mereka kembali ke dekapan
ukhuwah dalam dakwah ini. Saya rasa tepat sekali jika penulis meletakkan sebuah
doa ukhuwah paling indah yaitu doa Rabithoh di akhir halaman buku ini.
Buku ini cocok untuk dibaca oleh para aktivis baik yang
sudah menikah ataupun belum menikah. Untuk yang sudah menikah bisa dijadikan
sebuah bacaan muhasabah diri jika selama ini setelah kita menikah ternyata
kontribusi kita terhadap dakwah telah meredup bahkan padam. Dan bagi yang belum
menikah buku ini cocok untuk dijadikan sebagai pembekalan sebelum menikah, agar
ketika sudah menikah kita tetap berkontribusi terhadap dakwah walaupun
berpindah dimensi.
Tidak banyak kritik saya terhadap buku ini, selain hanya
adanya kesalahan penulisan dan ketidakrapian di beberapa bagian yang cukup
menganggu. Selebihnya buku ini cukup bagus untuk dibaca siapa saja, Karena
penggunaan bahasa yang ringan dan mudah dipahami.